by : Khadijah
Malam itu, dengan keringat dingin aku berlari tergopoh-gopoh sambil mendorong Fatiha di stroller menuju loket registrasi bagian Emergency RBWH (Royal Brisbane Women Hospital). “How can I help you? What is your emergency?”, sapa petugas di balik kaca. “Something stucks in my daughter’s nostril!! (sesuatu tersangkut di lubang hidung anak saya)”, jawab saya panik.
***
Hari Ahad pagi yang cerah, kami sekeluarga pergi mengunjungi Mt Coo-tha Botanical Garden. Sebuah tempat wisata yang berjarak cukup dekat dari tempat tinggal kami, hanya 15 menit driving kami sudah tiba di sana. Tidak kusangka tempat ini tidak hanya menyediakan wisata sekedar garden, namun juga ada bangunan planetarium di kompleks yang sama. Setelah melihat-lihat isinya sebentar, kami baru tahu namanya adalah Sir Thomas Brisbane Planetarium. Namun tujuan utama kami bukan ke planetarium hari itu, kami berencana piknik di dalam Mt Coo-tha Garden.

Kami pun melanjutkan perjalanan memasuki garden dan sibuk merekam seluruh pemandangan yang kami lalui di dalam garden dengan kamera kami. Setelah menikmati pemandangan bunga-bunga, Japanese Garden, Tropical Glass House, kami pun beristirahat di salah satu pohon dan menggelar tikar piknik. Kami menikmati bekal yang sudah kusiapkan dari rumah. Selagi kami makan, surprise! Kami mendapat pemandangan gratis dari burung-burung kakatua (caccatoo) berbulu putih dan berjambul kuning cantik yang sedang makan buah-buahan di atas pohon yang kami gunakan untuk berteduh. Suamiku pun berusaha mendekat untuk merekam burung-burung tersebut lebih jelas. Fatiha pun membuntuti bapaknya, melihat pertunjukan gratis itu.
Aku tetap duduk di tempat piknik untuk menjaga bekal kami sambil melihat ke sekitarku. Di bawah pohon ini, memang terdapat banyak buah-buahan jatuh, dan juga biji-bijian yang menjadi pakan unggas tersebut. Makanya tempat piknik kami sejak tadi ramai oleh beberapa unggas yang mendekat seperti kalkun, burung magpie, dan kakatua. Namun hal yang tidak kusadari, ternyata Fatiha memunguti biji-bijian itu dan terus menggenggamnya sampai pulang. Sebenarnya ini hal yang biasa untuk Fatiha yang selalu membawa ranting pohon, batu kerikil, dan daun-daunan setiap kali kami pergi bermain ke taman sehingga aku pun tidak pernah melarang dia melakukan ‘observasi’ pada benda-benda alam.
Hari yang menyenangkan dan juga melelahkan, menjelang sore kami pun segera pulang. Sesampainya di rumah, Fatiha dan bapaknya menonton TV di ruang depan sambil istirahat, sedangkan aku di kamar memakai headset karena ada acara seminar online yang sedang kuikuti sore itu. Tidak lama kemudian, bapak pamit keluar rumah karena ada urusan. Aku pun mengiyakan sambil terus melanjutkan menyimak acara onlineku. Sebentar aku melangkah ke ruang depan untuk menutup pintu dan melihat Fatiha masih menonton TV sambil makan buah blueberry yang berceceran di atas alas makannya. Tapi ada pemandangan yang aneh, kuperhatikan yang berceceran itu tidak hanya blueberry, tapi ada biji-bijian bulat besar yang berwarna hitam tercampur dan Fatiha sedang bermain biji itu dan ditekan-tekan ke lubang hidungnya. Melihat itu, aku pun langsung mencegah tangannya, “Stop it, Fatihaa! Berbahayaa!”, larangku beberapa kali. Akhirnya Fatiha pun melanjutkan memakan blueberry dengan benar. Aku kembali ke kamar untuk melanjutkan acara seminarku.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba Fatiha berlari masuk ke kamar sambil menunjuk hidungnya, “Ibuuu… sakiiiiit…..”, lirihnya dengan wajah merasa bersalah. Oh tidak!! Hal ini benar-benar terjadi! Aku pun panik dan segera menghentikan kegiatanku lalu membawa Fatiha ke depan wastafel. “Fatiha coba keluarkan bijinya seperti buang ingus!”, seruku setengah berteriak mencoba memberi arahan. Tapi bukannya mengeluarkan udara, Fatiha malah menghirup udara kencang-kencang dan akhirnya dia mulai menangis kesakitan. Haduuhh…
Aku pun mencari cara lain, aha! Kuambil jarum dari kotak sewing kit, dengan menggunakan senter kucoba menusuk-nusuk biji di dalam hidung Fatiha. Tapi setiap bijinya hampir keluar, Fatiha langsung menarik wajahnya dan mengucek-ngucek hidungnya. Kulihat keluar lendir berwarna ungu keluar dari hidung yang tersumbat. Aku pun menelpon suamiku mengabarkan hal ini, ia menyarankan untuk memandikan Fatiha, barangkali dia ingat cara mengeluarkan ingus ketika mandi karena tenang.
Tapi hasilnya nihil, setelah mandi Fatiha langsung tertidur, terdengar suara dengkuran karena hidungnya yang tersumbat. Malam pun tiba, akhirnya suami pulang juga. Kami pun coba cari cara lain. Aku coba mencari pinset dan menanyakan ke grup Whatsapp ibu-ibu. Mereka pun mengirim banyak foto-foto berbagai jenis pinset yang mereka punya di rumahnya. Namun tidak ada yang cukup kecil untuk masuk ke hidung kecil Fatiha. Beberapa ibu-ibu lain menyarankan untuk memanggil dokter ke rumah atau pergi ke UGD Rumah Sakit. Kami belum berpikir bahwa ini sedarurat itu untuk sampai harus pergi ke RS.
Setelah mencari informasi di internet, ternyata ratusan pasien anak-anak yang hidungnya tersumbat barang-barang kecil tiap tahunnya sudah biasa ditangani oleh UGD RS. Selain itu, metode yang dianjurkan adalah “Mother Kiss”. Tanpa membaca lengkap artikel di internet kami pun langsung sok mengerti bagaimana metode itu. Aku pun mencoba menyedot biji di hidung Fatiha dengan mulut. Tapi Fatiha yang sedang tidur memberontak karena tidak suka hidungnya disentuh. Kami pun putus asa, akhirnya diputuskan kami akan membawa Fatiha malam ini ke UGD RS terdekat, yaitu RBWH.
Kami segera meluncur dengan mobil menuju RBWH. Suami men-drop aku dan Fatiha untuk masuk UGD dulu selagi ia mencari parkiran gratis yang agak jauh. Aku berlari tergopoh-gopoh sambil mendorong Fatiha di stroller menuju loket registrasi bagian Emergency RBWH (Royal Brisbane Women Hospital). “How can I help you? What is your emergency?”, sapa petugas di balik kaca. “Something stucks in my daughter’s nostril!! (sesuatu tersangkut di lubang hidung anak saya)”, jawab saya panik. Suster kemudian datang untuk mengecek Fatiha, namun Fatiha menangis kencang karena takut dokter dan suster. Maklum ini trauma sejak ia di RS Jakarta untuk pengobatan TBC dulu.
Dokter pun datang dan kebingungan melihat Fatiha yang meraung-raung ingin pulang. Akhirnya dengan bantuan suster lain, Fatiha dibebat dengan selimut RS agar badannya tidak berontak. Dokter memandu kami melakukan metode “Mother Kiss” yang benar, yaitu dengan meniup udara ke mulut Fatiha (seperti CPR), agar Fatiha mengeluarkan udara lewat hidung. Namun keadaan tidak membaik karena Fatiha terus menangis dan berteriak. Dokter pun putus asa dan akhirnya memberikan surat rujukan ke Queensland Children Hospital (QCH).
Pukul 11 malam, kami pun akhirnya pulang dengan hampa. Tidak ada yang berubah keadaannya. Aku sudah lelah setelah seharian ini dan langsung ambil posisi tidur. Fatiha diantar ke toilet sebelum tidur oleh bapak, tiba-tiba Fatiha bersin keras sekali daan…. Surprise!! Bijinya keluar dengan sendirinya. Alhamdulillaah.. semua lega. Entah ingin tertawa atau sedih atas kejadian ini.
-selesai-